Tsunami (津波, secara harfiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebakan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut dapat dipicu oleh terjadinya gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang terkandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500–1000 km per jam, setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter.
Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, tetapi ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa karena tsunami dapat disebabkan oleh hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.Tsunami | |||
---|---|---|---|
"Tsunami" dalam tulisan kanji | |||
Nama Jepang | |||
Kanji: | 津波 | ||
|
Kata tsunami adalah serapan dari bahasa Jepang 津波 (tsunami): tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Nama ini diperkirakan berasal dari para nelayan Jepang, yang mengamati bahwa kapal-kapal dan bangunan di pelabuhan rusak akibat fenomena ini sekalipun mereka tidak merasakan gelombang besar ketika berada di laut lepas.[1]Oleh orang awam, tsunami kadang disebut "gelombang pasang". Namun, istilah yang dulunya populer ditolak para pakar karena fenomena ini tidak ada hubungannya dengan fenomena pasang surut yang diakibatkan gravitasi mataharidan bulan.[2] Para pakar lebih menyukai istilah tsunami, walaupun sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di pelabuhan.[3]
Beberapa bahasa memiliki padanan untuk istilah tsunami. Contohnya, dalam bahasa Aceh, tsunami disebut ië beunaatau alôn buluël (tergantung daerah). Kata smong dan emong digunakan dalam bahasa-bahasa di Pulau Simeulue, yang berada sebelah barat pantai Sumatera. Dalam bahasa Tamil di pantai timur India, tsunami disebut aazhi peralai.[1]
Pemicu
Tsunami dapat dipicu oleh gangguan pada dasar laut yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air.[4] Dalam proses kembalinya air yang terganggu ini menuju ekuilibrium atau keadaan tenang, suatu gelombang dapat terbentuk dan menyebar meninggalkan pusat gangguan, sehingga menyebabkan tsunami.[5] Peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan perpindahan air seperti ini meliputi gempa bumi bawah laut, longsor yang terjadi di dasar laut, jatuhnya benda ke dalam air seperti letusan gunung, meteor, atau ledakan senjata.[6][7]
Pemicu paling umum adalah gempa bumi yang mengakibatkan sekitar 80%–90% dari seluruh tsunami.[8] Gempa yang paling berpotensi menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi pada zona penunjaman (daerah pertemuan dua lempeng yang membenamkan salah satu lempeng tersebut) yang dangkal. Namun, tidak semua gempa seperti ini menyebabkan tsunami. Biasanya, hanya gempa berkekuatan di atas 7,0 skala magnitudo momen yang memiliki potensi ini. Semakin kuat suatu gempa, semakin besar pula peluang tsunami yang disebabkan oleh gempa tersebut.[9] Selain paling umum, tsunami seperti ini adalah satu-satunya yang dapat bertahan jauh (termasuk menyeberangi samudera) sehingga membahayakan daerah yang lebih luas.[10] Tsunami Samudra Hindia 2004 merupakan contoh tsunami seperti ini, dipicu oleh gempa bermagnitudo 9,1 dan merupakan tsunami paling mematikan dalam sejarah.[9]
Penyebab umum lainnya adalah tanah longsor, baik yang terjadi di bawah laut maupun yang terjadi di daratan tetapi memindahkan material seperti bebatuan ke laut. Karena longsor bawah laut sering terjadi akibat gempa, longsor dapat memperparah gangguan pada air setelah gempa. Fenomena ini dapat menyebabkan tsunami bahkan pada gempa dengan kekuatan yang biasanya tidak menyebabkan tsunami (seperti gempa yang bermagnitudo sedikit di bawah 7,0), atau menyebabkan tsunami yang lebih besar dari perkiraan berdasarkan kekuatan gempa. Contohnya, gempa bumi Papua Nugini 1998 hanya bermagnitudo sedikit di atas 7,0, namun menghasilkan tsunami besar dengan tinggi maksimum 15 meter. Contoh longsor daratan yang menyebabkan tsunami adalah tsunami Alaska 1958.[11]
Penyebab tsunami lainnya adalah aktivitas vulkanik, terutama dari gunung berapi yang berada di dekat atau di bawah laut. Umumnya, aktivitas vulkanik menyebabkan naik atau turunnya bibir gunung berapi, memicu tsunami yang mirip dengan tsunami gempa bumi bawah laut.[12] Namun, dapat juga terjadi letusan besar yang menghancurkan pulau gunung berapi di tengah laut, menyebabkan air bergerak mengisi wilayah pulau tersebut dan memulai gelombang besar. Contoh tsunami akibat letusan besar seperti ini adalah tsunami letusan Krakatau 1883, yang mengakibatkan tsunami setinggi lebih dari 40 m.[13][12]
Selain penyebab-penyebab di atas, ada penyebab tsunami yang lebih langka, di antaranya benturan benda besar ke dalam air akibat ledakan senjata atau kejatuhan meteor.[7] Benturan ini memicu gelombang air, dan tsunami yang dihasilkannya memiliki karakteristik fisika yang mirip dengan tsunami letusan gunung berapi.[14][7]
Kawasan rentan tsunami
Rawan tidaknya suatu daerah terhadap tsunami ditentukan oleh ada tidaknya pemicu-pemicu di atas, terutama gempa bumi berkekuatan besar di lautan, yang merupakan penyebab tsunami paling umum. Hampir 80% dari tsunami di bumi terjadi di kawasan yang disebut Lingkaran Api Pasifik, zona penunjaman di sekitar Samudera Pasifik yang mengalami banyak gempa bumi besar. Lingkaran api (Inggris: ring of fire) ini mencakup (searah jarum jam) Selandia Baru, Papua Nugini, Indonesia, pantai timur Asia (terutama Filipina dan Jepang) sampai ke utara, lalu pantai barat Amerika Utara dan Selatan. Selain itu, kawasan Palung Sumatera yang berada di Samudera Hindia lepas pantai barat dan selatan pulau Sumatera dan Jawa, Indonesia, juga merupakan zona penunjaman yang rentan tsunami. Di luar dua kawasan ini, tsunami cukup jarang terjadi. Tercatat tsunami pernah terjadi di Pantai Makran (selatan Iran dan Pakistan), Laut Tengah, serta pantai barat Portugal.[15]
Rambatan gelombang tsunami
Dari pusat tsunami hingga ke pantai
Gangguan yang terjadi di tengah laut menyebar sebagai gelombang. Seperti gelombang pada umunya (termasuk gelombang air di kolam atau ombak di pantai), gelombang tsunami memiliki fase "bukit" dan "lembah", panjang gelombang, periode, dan kecepatan.[16] Namun gelombang tsunami memiliki perbedaan besar daripada gelombang ombak biasa. Tak seperti ombak biasa yang energinya berasal dari angin, gelombang tsunami bisa terus bertahan karena gaya gravitasi bumi yang menarik air untuk kembali ke kesetimbangannya.[7][2] Perbedaan-perbedaan lain adalah dari sifatnya secara matematis. Panjang gelombangnya (jarak antara satu bukit ke bukit berikutnya) berkisar antara beberapa kilometer hingga ratusan kilometer. Ini jauh lebih besar dibandingkan ombak yang panjang gelombangnya sekitar 100 meter.[17] Karena panjang gelombangnya ini, serta kecilnya amplitudo atau tinggi gelombang (umumnya 30–60 cm), gradien atau kemiringan air yang terbentuk sangatlah kecil, sehingga tidak terasa oleh kapal-kapal di laut lepas.[17] Gelombang tsunami juga memiliki perioda yang jauh lebih besar (dapat mencapai 70–2000 detik) dibandingan ombak biasa (sekitar 10 detik). Hal ini berarti arus yang ditimbulkan tsunami bertahan jauh lebih lama.[16]
Kecepatan gelombang tsunami (dapat mencapai 600–900 km/jam) juga amat besar dibandingkan ombak biasa (sekitar 50 km/jam). Namun ini hanyalah kecepatan rambatan gelombang, dan bukan kecepatan partikel air. Kecepatan partikel air jauh lebih rendah, umumnya di bawah 1 m/s (3,6 km/jam).[16] Kecepatan ini kira-kira berbanding lurus dengan akar kuadrat dari kedalaman laut, sehingga tsunami bergerak lebih cepat di tengah samudera dibanding dekat pantai dangkal.[18] Karena itu, waktu tempuh sebelum tsunami mencapai suatu titik tergantung pada karakteristik dasar laut maupun jarak dari pusat tsunami. Contohnya, Tsunami Samudera Hindia 2004 mulai menghantam Indonesia setelah 15 menit, Sri Lanka setelah 2 jam, dan Kenya (di sisi lain Samudera Hindia) setelah 9 jam.[19]
Perbedaan lainnya antara tsunami dan ombak biasa adalah gelombang tsunami melibatkan air di seluruh area vertikal, baik bagian dalam dan dangkal. Tak seperti ombak biasa yang dalamnya jarang melebihi 20 m, gelombang tsunami mencapai dasar laut sehingga memiliki total energi yang jauh lebih besar. Saat merambat di laut dalam, gangguan yang terjadi di permukaan hanyalah sebagian kecil dari total energi yang dimiliki oleh tsunami tersebut.[5]
Saat mendekati pantai[sunting | sunting sumber]
Saat gelombang tsunami mendekati pantai, kecepatan gelombang menurun akibat gesekan dengan dasar laut.[20] Pada frekuensi tetap, panjang gelombang berbanding lurus dengan kecepatan sehingga gelombang tsunami memendek. Selain itu, karena tsunami menjangkau hingga dasar laut, saat laut menjadi dangkal, energi yang sebelumnya tersebar jauh hingga ke bawah mulai berpindah ke atas. Berpindahnya energi ini meningkatkan amplitudo atau tinggi gelombang.[21] Alhasil, saat mendekati pantai, energi tsunami menjadi jauh lebih padat baik secara horizontal (akibat berkurangnya panjang gelombang) dan secara vertikal (akibat berkurangnya kedalaman air dan meningkatnya amplitudo).[22] Akibat yang lain adalah gradien atau kemiringan air menjadi jauh lebih curam.[18]
Surutnya air laut sering dilaporkan terjadi sebelum datangnya tsunami, dalam kasus tertentu air laut dapat bergerak hingga ratusan meter menjauhi daratan. Hal ini sering memancing datangnya penduduk yang tidak tahu bahwa tsunami akan terjadi, karena dalam keadaan ini ikan mudah ditangkap dan sering terlihat karang atau makhluk laut lainnya yang biasanya tidak terlihat.[23] Tidak semua tsunami didahului oleh surutnya air, tsunami juga dapat langsung dimulai dengan naiknya permukaan air. Hal ini karena tsunami berbentuk gelombang, dengan puncak dan lembah. Jika lembah gelombang yang sampai lebih dahulu, permukaan air laut akan turun. Sebaliknya, puncak gelombang menghasilkan naiknya air laut. Kedua hal ini dapat terjadi dengan peluang yang sama.[24]
Mencapai daratan[sunting | sunting sumber]
Tsunami sering digambarkan secara ikonik sebagai dinding air raksasa yang bergerak menghantam daratan, seperti ombak yang ditunggangi peselancar.[25]Fenomena ini memang terjadi, tetapi hanya pada tsunami-tsunami yang sangat besar, seperti pada Tsunami Samudera Hindia 2004.[18] Pada sebagian besar kasus, tsunami tidak menyebabkan dinding air raksasa, tetapi terjadi dengan naiknya permukaan laut secara tiba-tiba (terkadang didahului surut).[5][18] Air dapat naik dan surut selama berjam-jam, sesuai bukit dan lembah gelombang.[9] Tsunami yang mencapai daratan bukan hanya sebuah gelombang tetapi terdiri dari rangkaian gelombang yang memiliki amplitudo dan frekuensi berbeda dan dapat saling memperkuat. Saat ini, tidak mungkin memperkirakan jumlah puncak besar yang ada dalam suatu tsunami, atau puncak mana yang paling berbahaya. Karena itu, daerah pantai masih dianggap berbahaya walaupun beberapa gelombang besar telah lewat.[9]
Tsunami yang mencapai daratan dapat menyebabkan kenaikan permukaan air hingga 15–30 meter.[19] Banjir yang dihasilkan dapat bergerak cepat hingga 90 km/jam,[9] dan menjangkau hingga beberapa kilometer dari pantai.[19] Aliran air ini mampu menghancurkan bangunan dan tanaman, menghanyutkan kendaraan atau benda-benda bergerak lainnya.[26]Kerusakan akibat arus yang berkecepatan tinggi dan dipenuhi puing serta benda hanyut ini seringkali lebih besar daripada kerusakan akibat hantaman awal tsunami.[27] Banjir yang diakibatkan tsunami ini sering diukur dengan dua besaran: inundasi atau penggenangan (inundation) dan kenaikan (run-up). Inundasi adalah jarak maksimal yang ditempuh tsunami secara horizontal ke dalam daratan. Kenaikan adalah ketinggian maksimum yang digenangi banjir dibandingkan dengan ketinggian normal air laut.[19]
Komentar
Posting Komentar